21 December 2012

Kasihmu 15


(Mengimbas kembali enam belas tahun yang lalu)

“Sabar sayang. Usah nangis lagi.” Bu Kartika sangat kasihan melihat anak saudaranya yang masih menangisi pemergian kedua orang tuanya. Di usia remaja Alisa perlukan kasih sayang ibu bapanya. Tempat dia bermanja juga tempatnya bergantung. Kini semua itu telah tiada. Kasihan Alisa.
“Tante Alisa kangan sama Mama dan Papa. Alisa ngak bisa lagi berbakti pada mereka. Alisa sayang bangat sama mereka. Gi mana Alisa mau teruskan hidup ini tanpa mereka.”
Air mata Alisa mengalir laju membasahi pipinya. Wajah polos itu hilang serinya. Sewaktu mengiringi jenazah hinggalah pulang ke rumah, wajah sedih Alisa meruntun naluri keibuan Bu Kartika. 

“Sudah la sayang. Tante sama Om ada. Mas Luqman juga ada buat nemani Alisa.” Bu Kartika berusaha memujuk Alisa. Alisa dipeluk penuh kasih sayang. Moga Alisa tabah hadapi semuanya, doa Bu Kartika di dalam hati. “Tante tau kok Alisa sayang sama mereka. Hadiahkan Al-Fatihah buat mereka di sana agar mereka tenang. Lagian ngak pantas kalo Alisa terus-terusan bersedih sayang. Tante yakin sekali keduanya ngak mau lihat Alisa sedih kek seperti ini.”
“Tapi Tante..,” Alisa sudah tidak dapat mengatakan apa yang terbuku di hati. Dadanya terasa berat dan sebak memikirkan dia kini telah menjadi yatim piatu. Air mata masih turun membasahi pipinya.
“Tante ngak mau lihat Alisa nangis terus. Tante juga turut sedih kok. Almarhum mama Alisa itu adik Tante satu-satunya. Tante ngerti perasaan Alisa. Jadi mulai sekarang Alisa tinggal aja di rumah Tante.”
Bu Kartika mengesat air mata di pipi Alisa. Wajah polos itu direnungnya penuh kasih sayang. Saat itu Bu Kartika bersyukur kerana keinginannya untuk memiliki anak perempuan termakbul meskipun Alisa hanyalah anak saudaranya. Anak kepada arwah adiknya Karina dan arwah Alfian.
“Alisa tidur dulu ya. Istirehat.” Bu Kartika memimpin tangan Alisa. Bu Kartika turut sama berbaring di sisi Alisa. Bu Kartika mengusap rambut Alisa. Ubun-ubun anak itu dikucup lembut. Alisa menutup mata. Meskipun mindanya masih mengingati kenangan bersama mama dan papanya, Alisa cuba untuk melelapkan mata. Mengusir rasa sedih yang bertandang di jiwa. Dia teringat kata-kata Pak Kiyai Abdullah saat sama-sama mengaji dengan mama dan papanya di rumah.
Dari Abdullah Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya orang meninggal akan tersiksa oleh tangisan keluarganya. Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam sendu yang masih bersisa, Alisa tertidur juga. Kesedihan yang merantai hatinya terserlah di wajah yang hilang seri.
Setelah pasti Alisa telah pun tidur Bu Kartika bangun dari pembaringan perlahan-lahan. Wajah anak itu ditatapnya. Sayu hatinya mengenangkan Alisa yang mengongoi sedih meratapi pemergian insan tersayang. Doanya agar Alisa akan tabah dan meneruskan kehidupannya dengan sempurna seperti mana anak-anak lain yang dilimpahi kasih sayang ibu bapa. Bu Kartika mahu melihat Alisa terus ceria seperti dulu. Anak itu manja namun mendengar kata.
Selimut merah jambu ditarik menutupi hingga ke paras pinggang Alisa. Bu Kartika berjalan perlahan menuju ke pintu kamar. Sebelum menutup pintu, matanya masih melihat figura Alisa di atas katil yang tenang lenanya.  
“Ma gi mana Alisa.” Di luar kamar Haji Halim mendekati isterinya.
“Alisa sudah tidur Pa.”
“Ada yang mau Papa bincangkan sama Mama. Alisa Ma.”
Bu Kartika faham lalu sama-sama menuruni anak tangga dan duduk di sofa kayu di ruang tamu. Haji Halim turut duduk di sisi Bu Kartika.
Haji Halim memulakan bicara. Mereka berbincang segalanya tentang Alisa. Mereka akhirnya menemui kata sepakat untuk menjaga dan memelihara Alisa bagai anak sendiri. Mereka mahu Alisa bahagia. Cukup kasih sayang walaupun mereka bukanlah ibu bapa kandung Alisa.
“Terima kasih Pa. Kerna ngerti Mama. Alisa itu keponak Mama. Dia ngak ada siapa-siapa lagi selain kita.”
“Ya Ma. Papa ngerti tuh. Usah khuatir. Alisa bisa aja tinggal di sini. Papa ngak rasa terbeban kok, lagian sudah tanggungjawab kita Ma.”
“Terima kasih Pa.”
Haji Halim mengangguk. “Ma sebentar lagi minta sama Tuti lihat-lihat kamar di atas. Kamar Alisa yang baru. Papa kira kamar di sebelah kamar Luq lebih nyaman Ma. Lebih gede juga complete furniturnya.”
“Baik Pa.”
“Luq mana Ma.”
“Ada di kamarnya.”
“Kalau gitu biar Papa ke atas saja. Mau bilang sama Luqman kalau Alisa itu bakal tinggal in sama kita. Jadi dia harus jaga diri di rumah. Ngak mau dia bikin Alisa kurang enak di sini.”
“Iya la Pa.” Bu Kartika sudah ketawa. Dia akui anak tunggalnya Luqman agak manja. Walau pun usia sudah menjangkau usia 17 tahun, namun Luqman masih bermanja dengan ibu dan bapanya. Ada sahaja gurau senda. Sering kali Bu Kartika diusiknya. Kalau Luqman berada di rumah, Bu Kartika merasa sangat gembira. Anak itu pandai mengambil hati. Selalu sahaja membuat hati Bu Kartika senang.
“Oh ya Papa udah jemput Pak Ustaz. Malam ini Papa fikir elok kita langsung aja majlis tahlil buat arwah. Mama ngak usah pikirin, Papa udah beres in semuanya.”
“Terima kasih Pa.” Bu Kartika sangat bersyukur. Suaminya seorang yang memahami. Sikapnya sentiasa menyenangkan hati dan sentiasa ada di saat Bu Kartika memerlukan bahu seseorang untuk bersandar.  Usia perkahwinan mereka telah pun melebihi 15 tahun. Dia masih ingat di awal usia perkenalan mereka, kedua-dua orang tuanya tidak merestui hubungan mereka. Namun dengan berkat usaha yang tidak kenal putus asa, akhirnya Halim diterima oleh keluarganya. Dan nyata pilihannya adalah tepat. Dia dijaga dengan baik oleh Halim. Tiada satu pun yang kurang. Kehadiran Luqman Hakim nyata membawa seri kepada rumahtangga mereka. Anak itu banyak mengikut tingkah laku suaminya. Sungguh menyenangkan hati Bu Kartika. Alhamdulillah Bu Kartika mengucapkan syukur pada Ilahi.
*******
Malam itu majlis tahlil buat arwah Karina dan Alfian berjalan lancar. Majlis dimulakan selepas Isyak. Ramai jiran yang hadir. Masing-masing turut merasa sedih dan simpati melihat Alisa. Tidak Kurang juga yang mengalirkan airmata. Di sepanjang majlis berlangsung, air mata Alisa tidak berhenti mengalir. Bu Kartika tidak jemu memujuk dan menenangkan Alisa.

Masih terbayang di mata Alisa bayangan Mama dan Papanya. Masih terngiang-ngiang suara Mamanya. Kenangan membantu Papa mencuci mobil juga terlayar di mata Alisa. Air mata terus mengalir tanpa dapat ditahan-tahan.
“Sabar sayang. Sudah lah. Usah ditangisi lagi. Biarlah mereka tenang di sana,” Bu Kartika memeluk erat Alisa. Dikesat air mata di pipi Alisa. Mata Alisa mulai merah dengan muka yang sudah membengkak. Bu Kartika tidak jemu-jemu menenangkan Alisa. Sedar Alisa sangat memerlukan sokongan. Sokongan yang akan menguatkan Alisa untuk menerima kenyataan dan meneruskan hidupnya tanpa ayah dan ibu.
Selepas majlis selesai Alisa masih termanggu di ruang tamu. Dia duduk bersila di situ. Belum ada tanda-tanda dia mahu bangun dari situ. Bu Kartika sudah hilang punca. Tidak tahu bagaimana lagi mahu memujuk Alisa.
“Ma biar Luq aja teman in Alisa ya,” usul Luqman.
Luqman berjalan perlahan ke arah Alisa. Di tangannya segelas susu. Dia lalu duduk di sebelah Alisa.
“Al kamu ngak bisa seperti ini terus. Kasihan sama tante. Dia sangat khawatir lihat kamu seperti ini kok.”
Alisa masih diam. Tiada sebarang reaksi.
“Al,” lembut Luqman memangil nama Alisa.
Alisa menoleh. Matanya menatap Luqman di sisi. Tiada sebarang kata yang terucap. Matanya kembali berkaca. Menanti titis air mata jatuh.
“Kamu sayang kan sama Papa dan Mama kamu.”
Alisa angguk.
“Kalau gitu kamu jangan sedih terus. Mereka pasti sedih juga lihat kamu sedih terus.”
“Aku kangan sama mereka,” balas Alisa dalam suara tertahan-tahan. Dia seboleh mungkin cuba mengawal sendu yang datang bertamu.
“Al, aku mungkin ngak ngerti perasaan kamu. Tapi aku turut sedih lihat kamu seperti ini kok. Ngak mau makan, minum. Aku ngak mau kamu sakit. Kalau kamu sakit gi mana?”
Air mata Alisa menitis. Rasa sayu mendengar kata-kata Luqman. Sedikit sebanyak kata-kata Luqman meresap ke dalam hatinya.
“Ini untuk aku?”
“Oh ya. Bener lho. Ini aku bawa in sama kamu. Minum ya.”
Alisa mencapai gelas berisi susu dari tangan Luqman. Satu teguk. Dan seteguk yang seterusnya. Tinggal dua pertiga susu di dalam gelas.
“Habis in semuanya,” pinta Luqman memujuk Alisa.
Alisa meneguk lagi susu di tangan.
“Udah. Tolong ya habis in semuanya untuk aku.”
Susu di dalam gelas tinggal separuh. Gelas bertukar tangan. Dia cuba mengambil hati Alisa. Luqman meneguk susu di tangan.
Bu Kartika dan Pak Halim yang melihat dari jauh tersenyum gembira. Lega rasanya.
“Al, aku lapar ni. Ayuh teman in aku. Bisa ngak?”
Alisa angguk. Luqman mencapai tangan Alisa. Mereka berdua berjalan ke dapur.
“Mama, Papa, aku lapar.”
Bu Kartika cepat-cepat memanaskan lauk-pauk lalu dihidang di atas meja. Dia menyenduk nasi ke pinggan Luqman dan Alisa. Luqman mengambil lauk kesukaannya masuk ke pinggan. Ayam goreng dan sup sayur.
“Aku ngak mau makan. Ngak punya appetite tante.” Alisa menolak pinggan nasi ke tepi.
“Al,” Luqman mengunjukkan makanan ke mulut Alisa. Alisa tidak jadi menolak bila Luqman bersungguh-sungguh mau menyuapnya makan. Sesuap nasi masuk ke mulut Alisa. Alisa mengunyah perlahan.
Rasa sayu bercampur gembira bermain di jiwa Bu Kartika yang melihat tindakan Luqman. Cepat-cepat dia mengesat air mata yang bertakung di tubir mata. Encik Halim yang berada berdekatan lantas duduk di meja makan. Nasi disenduk ke dalam pinggan.
“Mama ayuh kita makan,” ajak Encik Halim.
“Iya..iya Pa.” Bu Kartika pantas mengambil pinggan lalu duduk di sebelah suaminya.
Mereka berempat makan dalam suasana sunyi sepi. Tiada sesiapa pun yang bersuara. Luqman makan sambil berselang-seli menyuap Alisa.
Walaupun tidak banyak makanan yang dimakan oleh Alisa, sekurang-kurangnya Alisa tetap makan. Walau sedikit.
“Kamu udah solat kan.”
“Belum.”
“Kalau gitu solat dulu ya sebelum kamu tiduran.” pesan Luqman pada Alisa. “Kamu ke kamar dulu. Wudhuk dan solat ya. Aku mau tolong Mama beres in meja.”
“Biar aku aja,” Alisa menawarkan diri mengemas meja.
“Terima kasih Alisa sayang,” ucap Bu Kartika.
“Sama-sama Tante.”
*******
Alisa kembali bersemangat. Bila saja Alisa dirundung duka, Luqman yang melihat pasti segera menghiburkan hati Alisa. Hubungan Luqman dan Alisa semakin erat.

“Alisa.”
“Iya.”
“Tahun ini tahun penghabisan aku ke sekolah sama kamu. Nanti bila aku ngak ada di sini, aku mau kamu mandiri urus in diri kamu. Makan, minum jangan kamu lupa. Aku ngak mau kamu sakit Al.”
“Luq..pasti aku kangan sama kamu. Bisa ngak kalo kamu ngak pergi.”
“Mana mungkin deh. Aku harus ke sana. Tuntut ilmu itu wajib kok. Further study hingga ke China seperti sabda Rasulullah SAW. Kamu tau itu kan Al.”
“Ya aku tau. Tapi..”
“Kamu usah khawatir. Kita bisa aja ngomong setiap hari. Aku janji sama kamu.”
“Gi mana? Kamu di Australia. Aku di Jakarta.”
“Alisa bisa aja lho guna itu Yahoo Mesenger.”
“Oh ya.. Janji sama aku. Setiap hari kamu harus on YM kamu. Kalo kamu mungkir, pasti aku akan nurut  in kamu di sana.”
“Ok. Aku janji,” ucap Luqman sambil menghulurkan jari kelingkingnya ke arah Alisa. Alisa mengait jari Luqman dan melagakan ibu jari masing-masing serentak.

2 comments:

  1. masa tulis part luq pujuk alisa untuk minum susu tu memang mengalir air mata..

    ReplyDelete

This Blog Is Protected. Copyright 2009 © Design By Cik Sha Hashim